Jakarta – Ancaman bencana hidrometeorologi ekstrem, terutama yang dipicu oleh siklon tropis, kini telah bertransformasi menjadi ancaman nasional dengan kategori high frequency dan high impact. Kondisi ini menuntut Indonesia untuk segera meninggalkan pola respons bencana yang konvensional dan bergerak menuju transformasi total sistem peringatan dini serta penanggulangan bencana.
BACA JUGA : Arah Baru Tata Kelola Tambang: Mengurai Benang Kusut Ilegalitas dan Ketidakpastian Pasca-Hambalang
Pakar klimatologi dan perubahan iklim dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dr. Erma Yulihasti, menyoroti peningkatan drastis frekuensi dan daya rusak bencana hidrometeorologi dalam satu dekade terakhir, khususnya yang disebabkan oleh siklon tropis yang tumbuh cepat di perairan tropis Indonesia.
“BRIN sudah sangat concern. Sejak kejadian-kejadian besar sebelumnya, saya selalu bilang bahwa badai siklon tropis ini ancaman baru yang harus diseriusi,” kata Erma pada Rabu (10/12/2025). “Tapi yang terjadi selama ini lebih banyak berhenti pada diseminasi [informasi]. Padahal kita butuh solusi sistemik.”
Karakteristik Siklon Tropis: Ancaman Berulang yang Destruktif
Erma menjelaskan bahwa siklon tropis memiliki karakteristik yang berbeda dengan bencana besar lain seperti gempa bumi dan tsunami. Sementara gempa dan tsunami tergolong low frequency (jarang terjadi) namun berdampak besar, siklon tropis kini bersifat high frequency (sering terjadi) dengan dampak destruktif yang luas.
Peningkatan intensitas dan frekuensi kemunculan siklon tropis di kawasan Indonesia, menurut Erma, tidak terlepas dari akselerasi krisis iklim global. Ancaman ini kini menjadi siklus tahunan yang harus dihadapi negara.
Kritik terhadap Ketergantungan pada BNPB
Mengingat sifatnya yang high frequency dan high impact, penanganan siklon tropis dinilai tidak efektif jika hanya diserahkan sepenuhnya kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
“BNPB menangani semua jenis bencana. Maka wajar bila tidak bisa fokus pada ancaman yang high frequency seperti siklon. Kita butuh sistem baru, struktur baru, yang benar-benar dedicated,” tegasnya.
Rekomendasi Strategis: Tim Mitigasi Khusus Level Presiden
Untuk menjawab tantangan ini, Erma mengajukan dua rekomendasi strategis kepada pemerintah:
1. Pembentukan Tim Mitigasi Siklon Tropis di Bawah Presiden Langsung
Tim ini diusulkan berdiri independen dan diisi oleh pakar lintas disiplin. Fungsinya melampaui perumusan kebijakan, yakni memiliki kekuatan tawar (bargaining power) untuk menentukan respons cepat dan mengoordinasikan lembaga-lembaga terkait.
“Ini harus level Presiden. Karena ancamannya nasional, berdampak ekonomi besar, dan tak bisa ditangani satu badan saja,” jelas Erma.
Tugas spesifik tim tersebut meliputi:
- Memastikan setiap daerah memiliki Prosedur Operasional Standar (SOP) mitigasi siklon yang seragam dan teruji.
- Menciptakan sistem peringatan dini yang efektif sesuai standar internasional.
- Menyiapkan skema evakuasi dan kesiapsiagaan yang dapat diaktifkan jauh-jauh hari, bahkan sejak enam bulan sebelum puncak musim siklon.
2. Mewujudkan Budaya “Siklon Ready Nation”
Indonesia didorong untuk membangun kesadaran publik kolektif, mencontoh negara-negara yang rutin menghadapi badai. Konsep Siklon Ready Nation ini perlu diimplementasikan hingga ke tingkat komunitas melalui program Siklon Ready Community, layaknya Tsunami Ready Community.
Program kesiapsiagaan ini harus merinci panduan bertahap:
- 6 Bulan Sebelumnya: Identifikasi risiko, penyediaan logistik dasar, dan pelatihan komunitas.
- 1 Bulan Sebelumnya: Intensifikasi sosialisasi, penyiapan jalur evakuasi.
- Mingguan/Harian: Peningkatan intensitas informasi early warning hingga status darurat.
“Di luar negeri, mereka sudah merumuskan potensi sejak enam bulan sebelumnya, step-step yang harus dilakukan seperti apa. Semua harus berbasis komunitas dan dapat diakses publik,” tambah Erma.
Kritisisme Sistem Peringatan Dini dan Respons Pemerintah Daerah
Erma juga menyoroti kelemahan krusial Indonesia: belum optimalnya sistem peringatan dini. Ia membedakan antara rilis informasi awal dan early warning system yang sebenarnya.
“Peringatan dini itu bukan rilis. Peringatan dini harus muncul di semua TV, semua kanal media, berulang-ulang, sampai orang aware. Itu baru early warning system,” tegasnya. Ia menyarankan sistem peringatan dini harus diaktifkan berbulan-bulan sebelum musim siklon terjadi, dengan intensitas informasi yang terus meningkat seiring mendekatnya potensi ancaman.
Sementara itu, Ketua Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI), Harkunti, menyoroti lemahnya respons di tingkat implementasi daerah. Ia menilai sistem peringatan dini yang disiapkan pusat (BMKG, dsb.) sebenarnya sudah memadai, namun kesiapsiagaan di level Pemerintah Daerah (Pemda) masih “tergagap-gagap”.
Harkunti membandingkan hal ini dengan Jepang yang memiliki budaya bosai (siaga bencana) yang mengakar kuat. “Bosai itu sudah jadi budaya. Mulai dari pencegahan sebelum bencana, saat bencana, hingga pascabencana, semuanya ditata dan melibatkan banyak institusi,” ujarnya. Lemahnya budaya siaga ini membuat risiko bencana di Indonesia tetap tinggi meskipun informasi telah disebar.
Pemulihan Jangka Panjang yang Terabaikan
Pada akhirnya, Erma menilai pemerintah sering terjebak dalam rutinitas tanggap darurat tanpa perencanaan jangka panjang yang terstruktur. “Kondisi sekarang sudah menunjukkan betapa rentannya kita. Ini ancaman nasional. Dampaknya ke ekonomi akan besar. Tapi saya lihat di DPR pun tidak ada yang bersuara keras soal mitigasi,” kritiknya.
Ia menyimpulkan bahwa serangkaian bencana besar yang terjadi merupakan sinyal keras bahwa sistem mitigasi Indonesia masih jauh dari ideal.
“Di kalangan ilmuwan, kita bilang ini sudah kecolongan. Peringatan dini tidak bekerja sebagaimana mestinya. Dan kalau siklon makin sering terjadi, kita tidak bisa menghadapi dengan pola yang sama,” tutupnya, mendesak keputusan taktis dan strategis tingkat Presiden untuk menghentikan siklus responsif yang berulang setiap tahun.



