Tragedi banjir bandang yang merenggut lebih dari 800 jiwa di tiga provinsi di Sumatera pada akhir November 2025 adalah sebuah manifestasi nyata dari kontradiksi kebijakan Indonesia. Negara yang aktif mengampanyekan komitmen lingkungan di forum internasional ternyata membiarkan rakyatnya menjadi korban dari kerusakan ekologis sistemik yang dipicu oleh kebijakan dalam negeri. Inilah inti dari paradoks “Diplomasi Hijau” Indonesia: upaya membangun citra sebagai juara lingkungan di panggung global sambil secara bersamaan menoleransi kehancuran sumber daya alam domestik.
Ketika delegasi Indonesia berbicara dengan lantang mengenai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) di Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada saat yang sama, fakta menunjukkan bahwa hutan seluas 740.000 hektar di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah lenyap—digantikan oleh konsesi sawit dan tambang yang menghilangkan fungsi tanah sebagai penahan air hujan.
BACA JUGA : Ancaman Rob di Balik Tanggul Laut Muara Baru yang Bocor: Kegagalan Perawatan Infrastruktur
Kekuatan Lunak dan Keuntungan Diplomatik
Dari sudut pandang hubungan internasional, strategi ini, yang oleh Joseph Nye disebut sebagai soft power (kekuatan lunak), bertujuan untuk meningkatkan pengaruh tanpa kekerasan. Dengan menampilkan komitmen ambisius seperti target emisi nol bersih pada 2060 (diumumkan di Glasgow 2021) dan penekanan transisi energi di G20 (2022), Indonesia berharap mendapatkan beberapa keuntungan strategis:
- Akses Dana Iklim: Menarik investasi hijau dan dana iklim dari negara-negara kaya (misalnya, dana satu miliar dollar AS dari Norwegia untuk program pengurangan deforestasi).
- Kepemimpinan Regional: Memosisikan diri sebagai jembatan yang otoritatif antara negara-negara maju (konservasi) dan negara-negara berkembang (hak pembangunan) di Asia Tenggara.
Namun, permainan politik luar negeri yang canggih ini semakin sulit dipertahankan ketika realitas bencana di dalam negeri berbicara jauh lebih keras daripada pidato-pidato para diplomat.
Realitas Domestik: Deforestasi dan Penyangkalan Ekologis
Sementara Jakarta mengirim diplomat, situasi di lapangan menunjukkan konsesi yang menguntungkan korporasi. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menemukan setidaknya tujuh perusahaan secara spesifik merusak ekosistem di Daerah Aliran Sungai Batang Toru, wilayah yang mengalami banjir terburuk.
Angka-angka deforestasi sangat mencengangkan. Global Forest Watch mencatat Indonesia kehilangan hampir sepuluh juta hektar hutan primer antara 2002 hingga 2023. Khusus di Sumatera Barat, 320.000 hektar hutan primer lenyap, dengan 32.000 hektar hilang hanya dalam tahun 2024 saja—tepat ketika diplomasi hijau sedang berada di puncaknya.
Alih-alih membuka penyelidikan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) justru menolak tuduhan bahwa penebangan hutan memperparah bencana. KLHK secara keras kepala menyatakan bencana ini “terutama disebabkan oleh faktor alam”. Sikap ini disebut sebagai penyangkalan ekologis, di mana deforestasi diposisikan bukan sebagai kegagalan kebijakan, melainkan sebagai hasil yang dikehendaki dari sistem ekonomi-politik domestik.
Paradoks Keadilan Iklim: Ketidakadilan Ganda
Indonesia selalu memosisikan diri sebagai bagian dari negara berkembang yang menuntut keadilan iklim—prinsip bahwa negara maju harus menanggung beban emisi historis. Posisi ini secara moral kuat karena emisi kumulatif Indonesia kecil, tetapi menghadapi dampak iklim yang tidak proporsional.
Namun, narasi yang kuat ini mengabaikan ketidakadilan lingkungan yang terjadi di dalam negeri sendiri:
- Pembangunan untuk Siapa? Ketika pemerintah menggunakan argumen “hak pembangunan” untuk membenarkan penebangan hutan, lebih dari 800 korban banjir di Sumatera adalah bukti bahwa pembangunan ini menciptakan ketidakadilan lingkungan domestik.
- Kekerasan Lambat: Konflik agraria meningkat empat kali lipat sejak 2010 karena konsesi sawit dan tambang menggusur masyarakat adat. Petani kecil dijadikan kambing hitam deforestasi (kontribusi kurang dari 10%), sementara 25 konglomerat yang menguasai mayoritas konsesi mendapat perlindungan politik. Inilah yang disebut peneliti Rob Nixon sebagai “kekerasan lambat”—kerusakan bertahap melalui polusi, banjir, dan degradasi lingkungan yang sama mematikannya dengan kekerasan langsung.
Indonesia, dengan demikian, bukan hanya korban ketidakadilan iklim global, tetapi juga pelaku ketidakadilan lingkungan di dalam negerinya sendiri.
Dampak Serius terhadap Kredibilitas Global
Kesenjangan antara janji di luar negeri dan kenyataan di dalam negeri ini memiliki dampak serius pada kredibilitas Indonesia di mata internasional.
- Daya Tawar Melemah: Ketika data WALHI dan foto satelit menunjukkan deforestasi masif di lokasi bencana, narasi Indonesia sebagai pelestari hutan tropis runtuh. Hal ini berdampak langsung pada kemampuan Indonesia untuk menuntut dana adaptasi dan mitigasi yang lebih besar dari negara-negara maju. Mengapa negara-negara kaya harus berkontribusi lebih jika dana yang ada tidak menghasilkan perubahan nyata?
- Kehilangan Otoritas Moral: Kepemimpinan regional memerlukan otoritas moral. Ketika model pembangunan Indonesia justru menghasilkan bencana ekologis dengan ratusan korban jiwa, daya tarik model tersebut bagi negara-negara ASEAN lainnya hilang. Malaysia dan Vietnam berpotensi menggeser keseimbangan pengaruh dalam politik lingkungan regional dengan menunjukkan kemauan politik konservasi yang lebih kuat.
Kesenjangan ini berpotensi menciptakan sinisme di masyarakat sipil global. Untuk memulihkan kredibilitasnya, Indonesia harus menunjukkan konsistensi antara kata dan perbuatan, menjadikan keselamatan ekologis rakyatnya sebagai prioritas nyata di atas kepentingan konsesi korporasi.



