Operasi Hawkeye Strike: Pembalasan Militer AS Terhadap ISIS di Suriah
Internasional

Operasi Hawkeye Strike: Pembalasan Militer AS Terhadap ISIS di Suriah

Militer Amerika Serikat melancarkan operasi udara berskala besar yang diberi sandi “Operasi Hawkeye Strike” di wilayah Suriah pada Jumat (19/12/2025). Serangan ini merupakan respons langsung atas insiden mematikan yang menewaskan personel militer AS di Palmyra sepekan sebelumnya.

BACA JUGA : Psikologi Desain Kasino: Cara Lingkungan Memanipulasi Kesadaran Pemain

Detail Operasi dan Kekuatan Militer

Komando Pusat AS (CENTCOM) mengonfirmasi bahwa operasi ini berhasil menghantam lebih dari 70 target strategis di seluruh wilayah Suriah tengah. Serangan tersebut tidak hanya melibatkan kekuatan udara AS, tetapi juga didukung oleh sekutu regional.

Beberapa aset militer yang dikerahkan dalam operasi ini meliputi:

  • Jet Tempur: F-15 Strike Eagle dan pesawat serang darat A-10 Thunderbolt II.
  • Helikopter: AH-64 Apache untuk serangan jarak dekat.
  • Artileri: Sistem roket HIMARS (High Mobility Artillery Rocket System).
  • Dukungan Regional: Jet tempur dari Angkatan Udara Yordania turut berpartisipasi dalam misi tersebut.

Menteri Pertahanan AS, Pete Hegseth, menegaskan bahwa sasaran utama operasi adalah kamp pelatihan militan, infrastruktur logistik, serta gudang penyimpanan senjata milik ISIS. “Ini bukan awal dari sebuah perang, melainkan sebuah deklarasi pembalasan. Kami memburu dan melumpuhkan musuh-musuh kami dalam jumlah besar,” ujar Hegseth.


Latar Belakang: Tragedi di Palmyra

Eskalasi militer ini dipicu oleh serangan berdarah pada Sabtu (13/12/2025) di Kota Palmyra. Dalam insiden tersebut, seorang penyerang tunggal menyasar konvoi gabungan pasukan AS dan Suriah.

Dampak dari serangan tersebut meliputi:

  • Korban Jiwa: Dua tentara Angkatan Darat AS dan seorang penerjemah sipil tewas.
  • Korban Luka: Tiga tentara AS lainnya mengalami luka-luka.
  • Identitas Pelaku: Kementerian Dalam Negeri Suriah mengidentifikasi pelaku sebagai oknum pasukan keamanan Suriah yang diduga kuat telah terpapar radikalisme dan bersimpati pada ISIS.

Pasca-insiden tersebut, Presiden Donald Trump segera bersumpah akan melakukan tindakan balasan yang tegas terhadap kelompok ekstremis tersebut.


Perubahan Geopolitik Suriah dan Aliansi Baru

Operasi ini mencerminkan dinamika politik baru di Suriah setelah jatuhnya rezim Bashar al-Assad pada tahun lalu. Saat ini, Suriah dipimpin oleh Ahmed Al Sharaa, mantan tokoh pemberontak yang kini menjabat sebagai Presiden.

Berbeda dengan rezim sebelumnya, pemerintahan Al Sharaa menunjukkan sikap kooperatif yang kuat terhadap Washington:

  1. Dukungan Penuh: Kementerian Luar Negeri Suriah secara resmi mendukung Operasi Hawkeye Strike dan menegaskan bahwa ISIS tidak akan diberikan ruang aman di wilayah mereka.
  2. Kesepakatan Gedung Putih: Bulan lalu, Presiden Al Sharaa mengunjungi Washington untuk meresmikan kerja sama militer dengan koalisi pimpinan AS guna memberantas sisa-sisa sel tidur ISIS.
  3. Kehadiran Pasukan AS: Hingga saat ini, diperkirakan masih terdapat sekitar 1.000 tentara AS yang ditempatkan di Suriah untuk menjalankan misi penasihat dan pemberantasan terorisme.

Operasi Hawkeye Strike menjadi bukti nyata dari pakta pertahanan baru antara pemerintahan transisi Suriah dan Amerika Serikat dalam menjaga stabilitas kawasan Timur Tengah dari ancaman terorisme global.