Menko PM Cak Imin Soroti Ketimpangan Modal: Pengusaha Gede Gampang Utang, Gampang Pula Tak Bayar
Nasional

Menko PM Cak Imin Soroti Ketimpangan Modal: Pengusaha Gede Gampang Utang, Gampang Pula Tak Bayar

Jakarta – Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat (Menko PM) Abdul Muhaimin Iskandar, atau yang akrab disapa Cak Imin, menyoroti tajam isu ketimpangan akses permodalan yang terjadi antara pengusaha besar dan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Cak Imin mengungkapkan bahwa pengusaha berskala besar cenderung lebih mudah mendapatkan fasilitas pinjaman dari lembaga keuangan, sebuah kemudahan yang sangat jarang dinikmati oleh pelaku usaha kecil.

Namun, ia menekankan adanya ironi dalam hal disiplin pembayaran. Menurutnya, meskipun pengusaha kecil sulit mengakses modal formal, mereka menunjukkan disiplin yang lebih tinggi dalam pengembalian utang dibandingkan pengusaha besar.

“Dengar-dengar pengusaha gede gampang utang, daripada pengusaha kecil, tapi (pengusaha gede) juga gampang enggak bayar,” ujar Cak Imin dalam acara wisuda Keluarga Penerima Manfaat (KPM) Program Keluarga Harapan (PKH) di Margaguna, Jakarta Selatan, Senin (8/12/2025).

BACA JUGA : Hari Lingkungan Hidup: Walhi Desak Pemerintah Baru Hentikan Kebijakan Perusak Alam

Cak Imin menjelaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto sangat meyakini pentingnya investasi besar negara pada program pemberdayaan masyarakat. Menurutnya, dana negara harus dialokasikan untuk menciptakan masyarakat yang mandiri secara ekonomi, alih-alih hanya menambah rantai ketergantungan melalui bantuan sosial yang bersifat konsumtif.

Jeratan Rentenir Akibat Syarat Bank yang Rumit

Ketua Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang, yang turut hadir dalam acara tersebut, memperkuat pernyataan Cak Imin dengan menceritakan kesulitan akses modal yang dialami masyarakat kecil di daerah pemilihannya (Dapil) Sumatera Utara II.

Marwan menceritakan kasus seorang ibu penerima PKH yang berinisiatif memulai usaha kue untuk mencapai kemandirian, namun terganjal kebutuhan modal awal sebesar Rp 8,9 juta.

Ketika mencoba mengajukan pinjaman ke salah satu bank milik negara, ibu tersebut justru terhambat oleh persyaratan administratif yang rumit dan detail. “Harus ada KTP, kartu keluarga, sampai buku nikah. Ibu ini bilang, ‘Saya tidak pernah simpan-simpan buku nikah, saya enggak punya rencana cerai,’” cerita Marwan, menggambarkan betapa syarat formal sering kali tidak kontekstual dengan realitas hidup masyarakat bawah.

Karena terhalang oleh birokrasi perbankan, ibu tersebut akhirnya terpaksa meminjam kepada rentenir lokal, yang dikenal warga setempat sebagai “Bank Inang-Inang”. Skema pinjaman tersebut sangat mencekik: meminjam Rp 200.000 di pagi hari dan harus mengembalikan dua kali lipat, yakni Rp 400.000, pada sore harinya.

“Memang memalukan, tapi masyarakat kita bisa hidup. Anaknya bisa sekolah. Di rentenir tidak ada proposal, cukup teriak saja cair. Di bank negara masih butuh macam-macam syarat,” kritik Marwan, menyoroti kontras antara kecepatan rentenir versus birokrasi bank negara.

Desakan Reformasi Sistem Pembiayaan

Cerita tersebut, menurut Cak Imin, menjadi bukti nyata bahwa strategi pembangunan nasional harus memprioritaskan pemberdayaan dan akses modal yang lebih adil dan mudah.

Cak Imin menegaskan pentingnya reformasi sistem pembiayaan agar pelaku usaha kecil tidak lagi terjebak dalam pinjaman berbunga tinggi yang eksploitatif. Negara, katanya, harus benar-benar hadir untuk memperkuat ekonomi keluarga.

“Harusnya pengusaha kecil paling mudah mendapatkan pinjaman uang untuk berusaha. Justru yang kecil-kecil itu yang paling istiqomah dan mau bayar dengan baik,” pungkasnya, menyerukan agar lembaga perbankan formal memberikan kemudahan bagi UMKM yang terbukti memiliki integritas dalam pengembalian pinjaman.