Jakarta – Renungan etis dari Albert Einstein bahwa apa yang ia saksikan di alam adalah tatanan agung yang tak sepenuhnya dapat dipahami manusia, sejatinya merupakan sebuah peringatan mendasar: kesadaran akan keterbatasan ilmu pengetahuan seharusnya menumbuhkan kerendahan hati epistemik. Namun, dalam konteks pembangunan di Indonesia, peringatan bijak ini kerap tenggelam oleh ambisi modernisasi yang nyaris tanpa batas. Pembangunan yang dijalankan tanpa kerendahan hati epistemik, keyakinan bahwa manusia tahu segalanya, secara cepat bermutasi menjadi proyek yang membabi buta.
Keyakinan tersebut termanifestasi dalam kebijakan-kebijakan yang memperlakukan alam sebagai papan catur yang siap diatur ulang. Hutan dibuka atas nama konektivitas, lahan dibakar untuk transformasi ekonomi, dan gunung dikeruk demi devisa. Setiap keputusan ini didasarkan pada asumsi bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini telah cukup memadai untuk menata ulang mekanisme alam.
BACA JUGA : Endipat Wijaya Vs Ferry Irwandi: Mendudukkan Kolaborasi, Mengakhiri Kompetisi Citra dalam Bencana
Paradoks Pengetahuan dan Kerusakan Ekologis
Paradoks terbesar dalam pembangunan Indonesia adalah menempatkan percepatan ekonomi sebagai pengetahuan yang pasti, sementara kerusakan ekologis dianggap hanya sebagai risiko yang dapat dikelola. Keyakinan ini mengabaikan fakta sejarah modern bahwa kerusakan alam adalah utang yang selalu ditagih dengan bunga yang jauh lebih besar dan konsekuensi yang tidak terduga.
Kita mampu secara teknis membangun bendungan raksasa, tetapi sering kali gagal memahami implikasi perubahan kecil pada siklus air yang dapat meruntuhkan ketahanan peradaban. Kita meratakan bukit demi jalan raya, namun tidak memahami dampak jangka panjangnya terhadap iklim mikro dan keberlangsungan habitat satwa liar. Ilmu pengetahuan modern telah memberi kita kemampuan teknis (know-how), namun bukan pemahaman total (know-why).
Pemangku kebijakan sering kali melihat hutan sebagai ruang kosong yang menunggu untuk diefisiensikan, alih-alih sebagai ruang hidup dan jantung ekosistem. Padahal, apa yang tampak kosong itu adalah jaringan kehidupan yang membutuhkan ribuan tahun untuk terbentuk. Tatanan agung yang disinggung Einstein bukanlah metafora puitis, melainkan kenyataan ilmiah yang sangat rapuh.
Jejak Kesombongan Manusia: Monokultur Sawit dan Luka Tambang
Ekspansi industri menunjukkan bentuk lain dari keyakinan berlebihan manusia terhadap kontrol alam:
1. Invasi Monokultur Sawit
Perluasan perkebunan kelapa sawit, yang dijanjikan sebagai motor ekonomi baru, diukur berdasarkan skala penguasaan lahan. Tindakan mengganti keanekaragaman hutan tropis menjadi monokultur sawit adalah tindakan menghapus ingatan ekologis bumi. Ruang yang diciptakan mungkin tampak hijau, namun secara biologis ia adalah ekosistem yang mati. Keindahan struktur alam digantikan oleh pola bisnis yang mengabaikan kompleksitas ekologis, sebuah bentuk kesombongan manusia yang percaya bahwa alam akan selalu menyesuaikan diri tanpa batas.
2. Luka Menganga Kawasan Tambang
Aktivitas pertambangan menyisakan luka yang lebih dalam. Kawasan tambang menganga, dipaksa menyerahkan organ vitalnya bukan untuk kebutuhan esensial manusia, melainkan karena ketamakan ekonomi dan tuntutan industri global. Keindahan hutan ditukar dengan bongkahan mineral yang habis dalam hitungan tahun. Sungai dirusak demi bahan baku, dan politik pembangunan sering menganggapnya sebagai “harga yang wajar untuk kemajuan”. Padahal, ruang kosong yang ditinggalkan tambang hampir mustahil pulih sepenuhnya, bahkan setelah beberapa generasi.
Krisis Lingkungan adalah Krisis Epistemologis
Jika dilihat melalui lensa filsafat sains, krisis lingkungan di Indonesia bukan semata masalah teknis atau manajerial, melainkan masalah epistemologis.
Kita telah salah memahami posisi kita dalam alam. Kita bertindak seolah-olah kita lebih tahu daripada alam itu sendiri, percaya bahwa teknologi akan selalu mampu mengatasi setiap masalah yang kita ciptakan. Padahal, teknologi hanya memberikan solusi pada sebagian kecil dari kerusakan yang kita timbulkan.
Einstein menyerukan agar manusia menyadari bahwa ia adalah makhluk kecil dalam sistem yang sangat besar. Kerendahan hati epistemik adalah sikap yang memahami batas, dan batas inilah yang kini kita langgar secara masif.
Indonesia berada di persimpangan kritis. Kita harus memilih: terus melaju dengan keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah pusat segalanya, atau menyadari bahwa keberlanjutan kehidupan jauh lebih penting daripada target angka pertumbuhan. Kita harus mengubah pandangan dari manusia sebagai penguasa alam menjadi manusia sebagai bagian integral dari jaringan besar yang wajib dijaga keseimbangannya.
Kerendahan hati yang dimaksud Einstein bukanlah sikap pasrah yang melemahkan pembangunan, tetapi sikap yang menjadikannya lebih etis, lebih berorientasi jangka panjang, dan lebih manusiawi. Sebab, membangun tanpa menghormati tatanan agung alam sesungguhnya hanyalah menunda keruntuhan.
Pertanyaan akhirnya adalah: Beranikah kita mengakui bahwa manusia tidak tahu segalanya? Atau kita akan terus mengabaikan peringatan ini sampai suara alam berubah dari bisikan menjadi kemarahan yang tidak dapat lagi dihentikan? Waktu untuk memilih semakin tipis.


