Jakarta – Aksi cepat Ferry Irwandi yang berhasil mengumpulkan donasi lebih dari Rp 10,3 miliar dalam tiga hari dari 87.000 donatur untuk korban banjir Sumatera akhir 2025 menjadi simbolisasi kekuatan masyarakat sipil di era digital. Namun, respons dari anggota DPR Endipat Wijaya yang menyoroti mengapa bantuan triliunan rupiah dari negara seolah “kalah suara” dan tidak kasat mata di hadapan donasi yang diviralkan, membuka diskusi penting mengenai ketimpangan persepsi dan komunikasi penanganan krisis.
Ketegangan ini bukanlah pertarungan apple-to-apple antara individu dan institusi, melainkan sinyal bahwa standar kehadiran dan kinerja pemerintah telah bergeser drastis. Negara hari ini dihadapkan pada tuntutan akan kecepatan dan transparansi visual yang selama ini dikuasai oleh para influencer.
BACA JUGA : Bupati Aceh Selatan Mirwan Diperiksa Sore Ini: Tim Kemendagri Selidiki Umrah Tanpa Izin di Tengah Bencana
Pergeseran Standar Kinerja di Era Algoritma
Argumentasi Endipat Wijaya memiliki dasar yang valid. Di tengah skala bencana masif di Sumatera yang menelan ratusan korban jiwa dan ribuan pengungsi, bantuan pemerintah yang berjumlah triliunan rupiah terasa lenyap ditelan birokrasi dan minimnya dokumentasi yang ramah media sosial.
Satu dekade lalu, kinerja pemerintah dinilai melalui kelengkapan laporan administratif dan statistik. Kini, legitimasi ditentukan oleh layar ponsel.
Dulu, negara dianggap bekerja jika laporan administratif lengkap. Sekarang, legitimasi itu ditentukan oleh layar ponsel.
Para aktivis dan relawan seperti Ferry Irwandi dengan cepat mengadopsi aturan main baru ini. Mereka membuktikan komitmen melalui konten yang menarik, menyentuh hati, dan disiarkan secara real-time. Transparansi telah berevolusi dari sekadar laporan audit menjadi tontonan langsung yang dapat diakses siapa saja.
Sebaliknya, birokrasi sering kali tertinggal. Cara komunikasi institusional yang kaku, berjenjang, dan lambat, jelas tidak kompatibel dengan kecepatan algoritma media sosial. Pemerintah, dalam konteks ini, berada pada posisi “kawan yang menolong diam-diam”, sementara relawan yang mendokumentasikan setiap langkahnya dipuji sebagai pahlawan, meskipun volume pekerjaan sang kawan yang bekerja dalam senyap mungkin jauh lebih besar.
Bahaya Panggung Pencitraan dan Kompetisi Legitimasi
Desakan agar pemerintah harus lebih ‘terlihat’ mengandung bahaya laten. Jika kegelisahan ini tidak dikelola secara bijak, penanganan bencana berpotensi terjerumus ke dalam kompetisi citra atau branding semata. Bencana alam adalah tragedi kemanusiaan, bukan arena perebutan popularitas.
Ketika fokus elite politik bergeser dari logistik dan pemulihan korban menuju strategi viral dan angle kamera, energi bangsa akan tersedot untuk kompetisi legitimasi, bukan penanggulangan masalah.
Penting untuk diingat bahwa bantuan yang tidak terekspos kamera tidak lantas kehilangan nilainya. Sumber legitimasi sejati harus tetap berakar pada hasil kerja nyata di lapangan, bukan semata pada visibilitasnya di dunia maya.
Fenomena “Ferry versus Negara” ini adalah pengakuan terbuka dari elite politik bahwa cara komunikasi lama mereka tidak lagi efektif. Ini adalah sinyal positif, namun solusinya tidak boleh hanya dengan memproduksi konten artifisial. Negara harus hadir dengan wajah yang lebih humanis dan responsif, meninggalkan citra mesin birokrasi yang dingin.
Solusi Jangka Panjang: Membangun Sinergi, Bukan Rivalitas
Diskusi ini seharusnya mengarah pada introspeksi kolektif. Jika pemerintah memiliki sumber daya triliunan, mengapa mereka membutuhkan validasi viral? Sebaliknya, jika relawan bisa begitu lincah dan transparan, mengapa birokrasi negara tidak bisa mengadopsi kelincahan serupa?
Solusinya bukan terletak pada kompetisi, melainkan pada kolaborasi dan sinergi peran yang jelas:
- Peran Civil Society (Relawan/Influencer): Mengisi celah kecepatan, empati personal, dan efisiensi pengumpulan dana darurat (tahap tanggap cepat) yang sulit dijangkau birokrasi.
- Peran Negara (Pemerintah): Fokus pada tugas-tugas masif dan jangka panjang, seperti pembangunan infrastruktur permanen, pemulihan ekonomi, dan penyediaan jaminan sosial skala besar yang tidak mungkin ditanggung oleh donasi publik semata.
Pada akhirnya, korban di lapangan tidak peduli siapa yang paling viral. Mereka hanya membutuhkan kecepatan, ketepatan, dan ketulusan dalam penyaluran bantuan. Kehadiran negara yang sejati tidak diukur dari jumlah likes atau popularitas, tetapi dari seberapa cepat kepastian dan pemulihan bagi para korban dapat terwujud.



