Distopia Utang dan Spektakel Kekerasan: Membaca Paradoks Urban Jakarta 2025
Nasional

Distopia Utang dan Spektakel Kekerasan: Membaca Paradoks Urban Jakarta 2025

Jakarta saat ini berdiri di persimpangan yang semakin terjal, di mana optimisme makroekonomi yang rapuh berhadapan langsung dengan realitas kekerasan struktural yang menajam. Aliran data ekonomi, seperti revisi proyeksi pertumbuhan Asian Development Bank (ADB) sebesar 5 persen dan estimasi pertumbuhan penjualan eceran Bank Indonesia sebesar 5,9 persen, secara statistik menciptakan ilusi daya beli dan stabilitas. Namun, analisis mendalam mengungkap jurang pemisah antara angka agregat yang meyakinkan tersebut dengan kondisi kehidupan mayoritas warga urban yang semakin tertekan.

BACA JUGA : Komitmen Presiden Prabowo: Janji Hunian Sementara dan Tetap untuk Korban Bencana Sumatera

Jebakan Manusia Berutang dan Nekropolitik Finansial

Kondisi ekonomi Jakarta semakin didominasi oleh apa yang disebut Maurizio Lazzarato sebagai fenomena “Manusia Berutang” (The Indebted Man). Utang telah melampaui fungsinya sebagai instrumen finansial semata, berubah menjadi relasi sosial yang bersifat mendisiplinkan dan mengendalikan subjek secara total.

Relasi ini diperluas oleh kebijakan regulasi seperti POJK Nomor 19 Tahun 2025 dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang melonggarkan akses kredit bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Meskipun tampak sebagai upaya pemberdayaan, dalam praktik strukturalnya, kebijakan ini memperluas jaring pendisiplinan utang di kalangan masyarakat rentan.

Kebijakan Bank Indonesia yang mempertahankan BI-Rate di level 4,75 persen, meskipun bertujuan menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah, secara tidak langsung menyerahkan beban penyesuaian ekonomi kepada masyarakat kelas bawah. Mereka terpaksa menggunakan utang konsumtif untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar, menciptakan ketegangan sosial yang laten di ruang urban yang padat.

Fenomena ini selaras dengan konsep Nekropolitik dari Achille Mbembe, di mana kedaulatan bukan hanya tentang mengelola kehidupan (biopolitik), tetapi juga menentukan siapa yang harus dibiarkan berada dalam kondisi “kematian sosial” atau rentan terhadap ancaman maut. Di Jakarta, kedaulatan maut ini diwujudkan oleh korporasi finansial dan agen penagih utang (debt collector) yang beroperasi di luar batas hukum, mengubah sengketa jaminan fidusia menjadi intimidasi fisik dan perampasan aset. Bagi warga yang gagal bayar, mereka direduksi menjadi “populasi sampah” yang rentan terhadap “kematian sipil”—sebuah perampasan masa depan di mana waktu hidup mereka menjadi milik kreditur, bukan lagi milik mereka sendiri.

Ilusi Keamanan dan Masyarakat Tontonan

Di tengah tekanan ekonomi, respons politik Jakarta tidak diarahkan pada reformasi struktural, melainkan pada penciptaan “Masyarakat Tontonan” (Society of the Spectacle) seperti yang diuraikan oleh Guy Debord. Tontonan, bagi Debord, adalah hubungan sosial antarindividu yang dimediasi oleh citra, bukan sekadar kumpulan gambar.

Janji kampanye Pilkada 2025, seperti pemasangan kamera pengawas (CCTV) di seluruh RT dan RW, menjadi manifestasi paling jelas dari logika tontonan ini. Pemasangan ribuan CCTV dan integrasi jaringan pengawasan menciptakan teater kontrol: warga diajak merasa aman bukan karena fondasi kesejahteraan mereka terjamin, tetapi karena mereka merasa diawasi.

Demikian pula, program bantuan modal seperti “Jakarta Menyala” senilai Rp 300 miliar bagi UMKM, meskipun tampak sebagai solusi pemberdayaan, berfungsi sebagai komoditas politik yang mengalihkan perhatian publik. Tontonan bekerja dengan memisahkan warga dari kondisi nyata eksploitasi dan kesulitan mereka, menjadikan mereka penonton pasif atas janji-janji kemajuan “Jakarta Global” yang dipamerkan dalam festival investasi, sementara keseharian mereka tetap terbelit dalam spiral kesulitan finansial.

Krisis Mimetik dan Mekanisme Kambing Hitam Urban

Ketika alienasi sosial dan tekanan ekonomi mencapai puncaknya, masyarakat Jakarta terjerumus ke dalam Krisis Mimetik yang dijelaskan oleh René Girard. Di tengah kelangkaan sumber daya, keinginan warga saling meniru dan bertabrakan, mengalihkan kekerasan dari penyebab struktural (ketimpangan ekonomi) ke korban pengganti atau kambing hitam.

Konflik perebutan lahan parkir antar-Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) adalah contoh kekerasan mimetik. Kedua pihak, yang sama-sama terpinggirkan dari akses ekonomi formal, meniru hasrat untuk menguasai sumber daya informal yang terbatas, memicu siklus konflik.

Fenomena ini juga terlihat dalam kasus ekstrem seperti penggusuran paksa Pedagang Kaki Lima (PKL). PKL, yang merupakan gejala kegagalan sektor formal menyediakan lapangan kerja, justru dijadikan kambing hitam atas nama “ketertiban umum” dan modernitas kota. Pemerintah dan kelas menengah bersatu dalam narasi bahwa PKL adalah sumber kekacauan, mengorbankan mereka sebagai ritual penyucian yang gagal.

Kekerasan terhadap Ormas, PKL, atau pelaku kriminal menjadi katup pelepas agresi kolektif. Namun, mekanisme kambing hitam ini hanya menunda ledakan konflik berikutnya tanpa pernah menyentuh akar permasalahan mimetik dan ketimpangan ekonomi yang diproduksi oleh sistem itu sendiri.


Pada intinya, struktur kekuasaan di Jakarta 2025 beroperasi di bawah tiga kekuatan yang saling mengunci: spektakel politik yang membius, kekerasan mimetik antarwarga, dan teror nekropolitik utang. Arena urban ini menjadi distopia di mana nilai hidup manusia semakin dikomodifikasi dan tergerus oleh logika akumulasi kapital dan kewajiban finansial.