Arah Baru Tata Kelola Tambang: Mengurai Benang Kusut Ilegalitas dan Ketidakpastian Pasca-Hambalang
Nasional

Arah Baru Tata Kelola Tambang: Mengurai Benang Kusut Ilegalitas dan Ketidakpastian Pasca-Hambalang

Bogor – Pertemuan strategis para menteri di Hambalang yang dipimpin langsung oleh Presiden Prabowo Subianto menjadi sinyal politik terkuat dari pemerintahan baru dalam menata ulang sektor sumber daya alam Indonesia. Salah satu poin krusial yang digarisbawahi adalah komitmen tegas untuk memberantas praktik pertambangan tanpa izin (PETI) dan mereformasi tata kelola pertambangan agar kembali pada amanat konstitusi: sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

BACA JUGA : Dicopot Sementara 3 Bulan: Bupati Aceh Selatan Disanksi Kemendagri Akibat “Desersi” Saat Bencana

Arahan ini disambut dengan optimisme tinggi. Namun, di balik semangat penertiban tersebut, muncul pertanyaan mendasar: Apakah negara benar-benar memahami anatomi persoalan tambang ilegal yang selama ini tumbuh subur di ruang abu-abu kebijakan?

Tambang ilegal sejatinya bukan sekadar isu kriminalitas murni. Ia adalah manifestasi dari kegagalan sistemik yang melibatkan kerumitan tata kelola, tumpang tindih kewenangan, konflik agraria, hingga absennya negara dalam memberikan akses ekonomi yang inklusif. Hambalang bisa menjadi titik nol pembenahan, tetapi keberhasilannya tidak ditentukan oleh kerasnya penindakan, melainkan oleh keberanian negara merekonstruksi struktur governance yang selama ini pincang.

Paradoks Regulasi: Ketika Sentralisasi Membuka Celah Baru

Secara yuridis, instrumen negara untuk menindak tambang ilegal sebenarnya sudah sangat lengkap. Undang-Undang Minerba (yang telah direvisi pada tahun 2025) secara eksplisit mewajibkan setiap aktivitas ekstraksi memiliki izin, dokumen lingkungan (AMDAL), serta kepastian hak atas tanah. Sanksi pidana dan denda administratif yang diatur pun cukup berat.

Namun, akar masalahnya bukan pada ketiadaan aturan, melainkan pada eksekusi tata kelola. Pasca penarikan kewenangan perizinan dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat, terjadi disrupsi pengawasan yang fatal.

  1. Pemerintah Daerah yang paling mengerti kondisi lapangan dan peta konflik lokal, kini tidak lagi memiliki kewenangan eksekutor untuk menindak atau menerbitkan kebijakan taktis.
  2. Pemerintah Pusat memegang kendali penuh, namun tidak memiliki jangkauan pengawasan yang cukup hingga ke level tapak.

Kesenjangan ini menciptakan “ruang kosong pengawasan”. Di celah inilah tambang ilegal beroperasi—diketahui oleh aparat daerah namun tak bisa ditindak, dan tak terjangkau oleh radar aparat pusat. Tanpa pembenahan mekanisme delegasi pengawasan ini, arahan Presiden hanya akan efektif di atas kertas namun tumpul di lapangan.

Studi Kasus Gunung Botak: Tambang Ilegal sebagai Mekanisme Bertahan Hidup

Fenomena di Gunung Botak, Kabupaten Buru, Maluku, adalah cermin retak tata kelola pertambangan nasional. Di sana, tambang ilegal tidak semata-mata didorong oleh keserakahan, melainkan oleh keterdesakan ekonomi dan ketidakpastian hukum.

Konflik kepemilikan lahan yang berlarut-larut antara ahli waris dan masyarakat adat membuat investor legal sulit masuk. Upaya penataan selalu menemui jalan buntu karena status tanah dan batas wilayah tidak pernah diselesaikan secara tuntas, baik secara adat maupun administratif. Akibatnya:

  • Masyarakat Lokal mengambil jalan pintas dengan menambang secara manual demi menyambung hidup.
  • Risiko Tinggi diambil tanpa perlindungan keselamatan kerja (K3) dan tanpa kepastian harga jual.
  • Akses Tertutup, di mana warga tidak memiliki jalur untuk menempuh perizinan yang prosedurnya rumit dan mahal.

Kasus ini menegaskan bahwa penindakan tambang ilegal tidak bisa disamakan dengan pemberantasan kejahatan konvensional. Ada konteks sosiologis dan sejarah agraria yang harus diurai. Tanpa penyelesaian sengketa tanah dan penyediaan skema legalisasi tambang rakyat (Wilayah Pertambangan Rakyat/WPR), operasi penertiban hanya akan mematikan ekonomi warga tanpa memberi solusi.

Pola Serupa di Berbagai Daerah

Masalah ini bersifat sistemik dan terjadi secara nasional dengan pola yang identik:

  • Sulawesi: Penambangan nikel ilegal menjamur akibat lemahnya pengawasan di koridor-koridor area konsesi.
  • Kalimantan: Penambangan emas liar merusak daerah aliran sungai (DAS) dan memicu gesekan sosial antar-kelompok.
  • Jawa: Penambangan pasir galian C beroperasi di wilayah yang tata ruangnya tidak definitif, merusak infrastruktur jalan dan lingkungan.

Benang merahnya jelas: ketika tata kelola negara kabur, rakyat mencari celah sendiri untuk bertahan hidup. Negara seringkali terlambat hadir, dan baru muncul ketika kerusakan sudah terjadi untuk melakukan penertiban, bukan pencegahan atau pembinaan.

Dampak Multidimensi: Lingkungan, Ekonomi, dan Sosial

Membiarkan tata kelola yang buruk ini berlanjut membawa konsekuensi fatal:

  1. Kerusakan Lingkungan Permanen: Banjir bandang, tanah longsor, dan pencemaran merkuri menjadi ancaman nyata bagi warga sekitar.
  2. Kebocoran Penerimaan Negara: Negara kehilangan triliunan rupiah dari potensi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), royalti, dan pajak yang tidak terpungut.
  3. Disparitas Layanan Publik: Ironi terjadi di daerah kaya sumber daya alam, di mana infrastruktur dan layanan publik justru buruk karena pemerintah daerah tidak mendapatkan dana bagi hasil yang optimal.
  4. Konflik Horizontal: Perebutan lahan tambang kerap memicu kekerasan antarwarga, pemilik tanah, dan aparat.

Empat Langkah Strategis Pembenahan

Jika Pemerintahan Presiden Prabowo ingin arahan di Hambalang membuahkan hasil, pendekatan “pukul rata” harus diubah menjadi pendekatan yang lebih teknokratis dan humanis. Ada empat kelemahan utama yang harus segera ditutup:

  1. Sinkronisasi Pusat-Daerah: Mengembalikan sebagian kewenangan pengawasan ke daerah atau membentuk satuan tugas gabungan yang permanen di tingkat provinsi untuk menutup celah pengawasan.
  2. Resolusi Konflik Agraria: Memastikan “status clean and clear” pada lahan tambang. Tanpa kepastian hukum atas tanah, izin pertambangan hanyalah dokumen tanpa legitimasi sosial.
  3. Formalisasi Tambang Rakyat: Negara harus mempermudah akses Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) secara proporsional, sehingga penambang kecil bisa masuk ke dalam sistem legal, membayar pajak, dan diawasi standar keselamatannya.
  4. Penegakan Hukum di Hulu: Fokus penindakan jangan hanya menyasar penambang kecil di lubang tambang. Penegakan hukum harus tajam ke atas, menyasar pembeli (penadah), penyokong dana, dan jaringan logistik alat berat yang menjadi “bapak asuh” operasi ilegal tersebut.

Kesimpulan

Arahan Presiden Prabowo di Hambalang adalah momentum emas. Namun, memberantas tambang ilegal menuntut lebih dari sekadar keberanian politik; ia menuntut kecerdasan tata kelola.

Selama ketidakpastian hak atas tanah tidak diselesaikan, kesenjangan kewenangan tidak dijembatani, dan alternatif ekonomi tidak disediakan, tambang ilegal akan terus bermetamorfosis. Harapan publik kini tertuju pada pemerintah baru: mampukah Hambalang menjadi awal dari kembalinya kedaulatan negara atas sumber daya alam yang dikelola secara transparan, adil, dan berkelanjutan? Atau hanya akan menjadi penertiban sesaat yang akan terulang siklusnya di masa depan?