Ancaman Siklon Tropis Menguat, Indonesia Diingatkan: Jangan Sampai Terperosok ke Lubang Bencana yang Sama
Nasional

Ancaman Siklon Tropis Menguat, Indonesia Diingatkan: Jangan Sampai Terperosok ke Lubang Bencana yang Sama

Jakarta – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) kembali mengeluarkan peringatan dini terkait perkembangan bibit siklon tropis 91S yang terdeteksi mulai terbentuk di Samudera Hindia, tepatnya di sebelah barat Lampung. Meski potensi 91S berkembang menjadi siklon tropis aktif tergolong rendah, dinamika atmosfer ini mengindikasikan bahwa Indonesia semakin sering berhadapan dengan fenomena badai siklon yang memicu cuaca ekstrem.

Kemunculan bibit siklon ini memperkuat kekhawatiran yang telah lama disuarakan oleh para pakar. Ahli Klimatologi dan Perubahan Iklim Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dr. Erma Yulihasti, secara tegas menyatakan bahwa tanpa perubahan strategi mitigasi dan pengelolaan lingkungan yang serius, Indonesia berisiko “jatuh di lubang yang sama” setiap tahun.

BACA JUGA : Siklon Tropis Kian Mengancam Indonesia, Pakar Desak Transformasi Total Sistem Mitigasi

Tragedi Lanjutan dari Bencana Utama

Erma menyoroti bahwa fase tanggap darurat yang berlarut-larut di wilayah terdampak banjir bandang dan siklon, seperti di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, adalah indikasi kegagalan pencegahan. Krisis utama kini memicu krisis lanjutan.

“Saya khawatir tragedi ini akan melahirkan tragedi-tragedi berikutnya. Indikasinya sudah terlihat, mulai dari ancaman kelaparan, keterbatasan akses pangan, hingga kondisi psikososial warga yang kian melemah,” ujar Erma, Selasa (11/12/2025).

Di banyak lokasi, tingginya sedimentasi lumpur dan perubahan morfologi sungai akibat penanganan yang lamban telah menghilangkan daya dukung lingkungan. Studi BRIN di Daerah Aliran Sungai (DAS) Pesangan, salah satu wilayah terparah, menunjukkan penurunan tutupan hutan di kawasan hulu mencapai 30 persen pada periode 2006–2015—jauh sebelum bencana besar 2025.

“Kalau diasumsikan tren itu linier, maka penurunan tutupan hutan pada 2025 mungkin sudah menyentuh 60 persen. Ini membuat rekonstruksi di titik semula menjadi mustahil,” tegas Erma. Oleh karena itu, ia menekankan bahwa relokasi harus menjadi opsi serius bagi kawasan yang daya dukung lingkungannya telah hancur total.

Tiga Pilar Penyebab Bencana: Degradasi Lingkungan Bukan Faktor Tunggal

Erma menolak polemik apakah bencana tergolong hidrometeorologi atau ekologis. Menurutnya, perdebatan tersebut menyesatkan karena tidak ada faktor tunggal.

“Ini the whole system. Ada tiga faktor yang saling mengikat: cuaca ekstrem, minimnya mitigasi, dan degradasi lingkungan. Ketiganya saling memperkuat dampak bencana,” ungkapnya.

Faktor geografi dan demografi juga memainkan peran signifikan dalam membedakan dampak bencana. Ia membandingkan Siklon Tropis Seroja (NTT, April 2021) dengan badai yang melanda Sumatera. Seroja memang tidak lazim karena pusatnya masuk ke daratan. Namun, karena NTT relatif datar dan populasinya tidak sepadat Sumatera, dampaknya berbeda.

“Ketika badai sebesar ini mengenai wilayah berhutan rapat, curam, dan padat penduduk seperti Sumatera, dampaknya pasti berlipat ganda,” ujar Erma.

Urgensi Reformasi Struktural: Tim Khusus di Bawah Presiden

Mengingat ancaman siklon tropis telah menjadi fenomena high frequency, high impact dengan rentang musim yang jelas (November hingga April setiap tahun), Erma mendesak pemerintah untuk segera melakukan reformasi struktural di sektor mitigasi.

Ia berpendapat bahwa beban penanganan semua jenis bencana yang diemban oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terlalu berat.

“BNPB tidak mungkin menangani semua bencana sekaligus. Kita perlu institusi yang fokus hanya pada ancaman siklon tropis—sebuah national emergency unit untuk krisis iklim,” tegasnya.

Erma menyarankan pembentukan Tim Mitigasi Siklon Tropis yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Tim independen lintas disiplin ini harus memiliki bargaining power untuk:

  1. Menyusun SOP Mitigasi Siklon yang seragam di seluruh daerah.
  2. Menciptakan Sistem Peringatan Dini yang Efektif dan standar internasional.
  3. Membuat Skema Evakuasi yang dapat dijalankan bahkan sejak enam bulan sebelum puncak musim siklon.

Selain unit struktural, ia juga mendesak pengadopsian program “Siklon Ready Nation” untuk membangun budaya siaga di tingkat lokal, serupa dengan Tsunami Ready Community.

Kritik Tajam terhadap Sistem Peringatan Dini

Salah satu sorotan utama Erma adalah lemahnya Early Warning System (EWS) di Indonesia.

“Peringatan dini itu harus muncul di televisi, di radio, di semua kanal, diputar berulang-ulang. Itu baru early warning system. Kalau hanya rilis pers, itu informasi awal, bukan peringatan dini,” tegasnya.

Erma menyebut, Indonesia telah “kecolongan” karena sinyal bahaya seharusnya sudah terdeteksi dari hasil pemodelan iklim lima tahun terakhir. Tanpa kemauan politik untuk mengambil tindakan strategis, kerusakan ekonomi dan korban jiwa akibat badai siklon akan terus terulang.

Respons BMKG: Imbauan Kesiapsiagaan

Menyikapi perkembangan bibit siklon 91S, BMKG telah melakukan koordinasi intensif dengan BNPB dan BPBD di wilayah terdampak, termasuk Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Lampung.

Kepala BMKG, Teuku Faisal Fathani, mengimbau masyarakat agar tetap tenang namun meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi peningkatan curah hujan, angin kencang, dan gelombang tinggi, khususnya di Samudera Hindia sebelah barat Nias hingga selatan Banten.

Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto, memprakirakan 91S akan bergerak menjauhi wilayah Indonesia pada 12 Desember 2025. Namun, BMKG meminta sektor pelayaran, perikanan, dan transportasi laut untuk menyesuaikan aktivitasnya sesuai peringatan gelombang tinggi yang dikeluarkan.

Direktur Meteorologi Publik BMKG, Andri Ramdhani, menekankan bahwa sinergi antara informasi ancaman dan tindak lanjut efektif oleh Pemda adalah kunci memitigasi risiko. Namun, tanpa reformasi struktural yang diusulkan oleh BRIN, sinergi ini dikhawatirkan hanya menjadi respons tambal sulam sesaat.

“Kita harus menghindari pengulangan bencana yang sama setiap tahun. Kita sudah punya kajian, datanya ada, ancamannya jelas. Tinggal kemauan politik untuk mengambil tindakan strategis,” tutup Erma.