Urgensi Kepatuhan Konstitusional dalam Transformasi Regulasi Kepolisian
Nasional

Urgensi Kepatuhan Konstitusional dalam Transformasi Regulasi Kepolisian

Wacana peningkatan status Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 menjadi Peraturan Pemerintah (PP) memicu diskusi krusial dalam ruang tata negara Indonesia. Rencana ini dipandang memiliki potensi benturan norma, mengingat proses revisi atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai payung hukum induk belum rampung diselesaikan. Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan tafsir konstitusional yang bersifat final terkait batasan penugasan anggota Polri aktif di luar struktur kepolisian.

BACA JUGA : Operasi Hawkeye Strike: Pembalasan Militer AS Terhadap ISIS di Suriah

Konflik Hierarki dan Esensi Negara Hukum

Persoalan utama dalam transisi regulasi ini bukan sekadar urusan teknis administratif, melainkan menyangkut integritas prinsip rule of law. Dalam hierarki hukum Indonesia, Peraturan Pemerintah seharusnya berfungsi sebagai instrumen pelaksana dari mandat Undang-Undang.

Apabila sebuah PP diterbitkan dengan substansi yang mendahului revisi undang-undangnya—terutama dalam poin-poin yang telah mendapatkan koreksi dari MK—maka terjadi anomali dalam pembentukan norma. Hal ini menimbulkan kesan bahwa kebijakan dibentuk secara bottom-up untuk melegitimasi kepentingan sektoral, alih-alih bersumber dari undang-undang yang merepresentasikan kehendak rakyat.

Menjaga Profesionalisme Melalui Pembatasan Jabatan

Putusan Mahkamah Konstitusi secara eksplisit menekankan perlunya menjaga profesionalisme dan netralitas institusi Polri. Pembatasan penugasan aktif di luar struktur kepolisian bertujuan untuk:

  • Mencegah Dualisme Peran: Menghindari tumpang tindih antara fungsi keamanan dan fungsi birokrasi sipil.
  • Menjaga Check and Balances: Memastikan distribusi kekuasaan dalam sistem demokrasi tidak terpusat pada satu lembaga dengan kewenangan besar.
  • Menjamin Netralitas: Memitigasi risiko politisasi anggota kepolisian dalam jabatan-jabatan pemerintahan.

Tafsir MK ini merupakan bagian tak terpisahkan dari norma hukum itu sendiri. Mengabaikan atau sekadar menjadikan putusan MK sebagai rujukan tambahan adalah bentuk pelemahan terhadap otoritas konstitusional.

Dilema Kepastian Hukum vs. Kesetiaan Konstitusi

Argumen yang mendukung percepatan PP ini biasanya berlandaskan pada kebutuhan akan kepastian hukum dan efektivitas tata kelola pemerintahan. Namun, kepastian hukum yang dibangun di atas ruang pengecualian yang melonggarkan batasan MK justru berisiko menciptakan ketidakpastian baru di masa depan.

Ketika regulasi administratif digunakan untuk “mengelola pengecualian” daripada “mempertegas pembatasan”, maka daya korektif putusan MK terancam hilang. Hal ini berpotensi menciptakan preseden buruk di mana kebutuhan institusional jangka pendek diutamakan di atas stabilitas konstitusional jangka panjang.

Rekomendasi Langkah Strategis

Untuk menjaga kredibilitas negara hukum, urutan langkah kebijakan harus dikembalikan pada jalurnya:

  1. Prioritaskan Revisi UU Polri: Menuntaskan perubahan undang-undang dengan menginkorporasikan seluruh poin putusan MK secara komprehensif.
  2. Harmonisasi Regulasi Turunan: Menyusun PP hanya setelah undang-undang induk disahkan, sehingga PP tersebut murni berfungsi sebagai aturan pelaksana yang setia pada ruh konstitusi.
  3. Penguatan Transparansi: Membuka ruang bagi publik dan akademisi untuk mengawal transisi ini guna memastikan tidak ada penyelundupan norma yang bertentangan dengan semangat demokrasi.