Tiga Hakim Divonis 11 Tahun Penjara Terkait Suap Vonis Lepas Kasus CPO
Hukum

Tiga Hakim Divonis 11 Tahun Penjara Terkait Suap Vonis Lepas Kasus CPO

JAKARTA, 4 Desember 2025 – Tiga hakim nonaktif di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) resmi dijatuhi hukuman 11 tahun penjara setelah terbukti menerima suap untuk memuluskan vonis lepas terhadap tiga korporasi yang tersangkut kasus korupsi fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO).

Ketiga terdakwa adalah Ketua Majelis Hakim nonaktif Djuyamto dan dua Hakim Anggota nonaktif, Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtarom.

Dalam sidang pembacaan amar putusan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (3/12/2025), Hakim Ketua Effendi menyatakan bahwa perbuatan para terdakwa melanggar Pasal 6 Ayat (2) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

“Mengadili, menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 11 tahun dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara,” kata Hakim Ketua Effendi.

BACA JUGA : Solidaritas Nasional: Pemprov Banten Salurkan Bantuan Rp 3 Miliar dan Logistik untuk Korban Bencana Sumatera

Rincian Penerimaan Suap dan Hukuman Tambahan

Majelis hakim menyatakan bahwa ketiganya terbukti secara sah dan meyakinkan menerima sejumlah uang dari pihak korporasi dengan tujuan memengaruhi putusan menjadi vonis lepas.

  • Djuyamto (Ketua Majelis): Terbukti menerima suap senilai kurang lebih Rp 9,2 miliar.
  • Agam Syarif Baharudin (Hakim Anggota): Terbukti menerima suap senilai Rp 6,4 miliar.
  • Ali Muhtarom (Hakim Anggota): Terbukti menerima suap senilai Rp 6,4 miliar.

Selain hukuman penjara, ketiganya juga diwajibkan membayar uang pengganti sejumlah suap yang mereka terima, dan uang tersebut wajib dikembalikan kepada negara.

Faktor Pemberat dan Peringanan Hukuman

Majelis hakim menilai perbuatan para terdakwa merupakan tindakan yang sangat memberatkan. Hakim Effendi menekankan bahwa tindakan ini telah “mencoreng nama baik lembaga yudikatif sebagai benteng terakhir pencari keadilan di Republik Indonesia ini.”

Faktor pemberat utama meliputi:

  1. Pencorengan Institusi: Para terdakwa melakukan tindak pidana saat menjabat sebagai aparat penegak hukum, padahal pimpinan Mahkamah Agung telah berulang kali mengingatkan untuk menjaga marwah institusi.
  2. Keserakahan (Corruption by Greed): Hakim secara tegas menyatakan bahwa tindak pidana korupsi ini dilakukan bukan karena keterpaksaan atau kebutuhan (corruption by need), melainkan murni karena keserakahan (corruption by greed).

Sementara itu, faktor yang meringankan hukuman adalah pengakuan bahwa ketiganya telah mengembalikan sebagian uang suap yang diterima, serta masih memiliki tanggungan keluarga. Vonis 11 tahun penjara ini sedikit lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum sebelumnya, yang menuntut hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara.

Kronologi Suap Kasus Korporasi CPO

Kasus suap ini berakar dari perkara tiga korporasi CPO yang disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada tahun 2024.

Upaya pengamanan putusan dimulai ketika Ariyanto Bakri, pengacara pihak korporasi, menghubungi Wahyu Gunawan (Panitera Muda PN Jakarta Utara nonaktif) untuk mencarikan koneksi di PN Jakarta Pusat. Wahyu kemudian mempertemukan Ariyanto dengan Arif Nuryanta.

Serangkaian pertemuan antara Ariyanto, Wahyu, dan Arif Nuryanta dilakukan untuk membahas nasib perkara CPO tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan majelis hakim, total uang suap yang diberikan Ariyanto kepada lima terdakwa (termasuk tiga hakim) mencapai 2 juta Dolar Amerika Serikat, atau setara dengan Rp 39–40 miliar. Pemberian suap ini dilakukan dalam dua tahap, yakni pada Mei dan Oktober 2024.

Dalam surat dakwaan terungkap rincian pembagian suap kepada pihak lain:

  • Arif Nuryanta: Rp 14,7 miliar
  • Wahyu Gunawan: Rp 2,3 miliar

Sementara itu, pihak pemberi suap—yakni pengacara Ariyanto, Junaidi Saibih, dan perwakilan korporasi Marcella Santoso serta Muhammad Syafei—saat ini masih menjalani proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta.